EKSISTENSI peradaban sebuah bangsa, tentunya tidak terlepas dari masa lalu. Sebab masa kini terbentuk karena peradaban masa lalu yang sudah menjadi milik sejarah. Masa sekarangpun akan membentuk peradaban masa datang. Artinya masa lalu merupkan sebuah pelajaran yang harus dipelajari, masa sekarang harus kita jalani sebaik mungkin, dan masa depan merupakan penerapan hasil pembelajaran dari masa lalu dan masa sekarang. Tentunya masa lalu itu meninggalkan banyak kearifan lokal (local genius). Salah satunya kearifan lokal yang dimiliki suku Sunda. Kearifan lokal tersebut tersebar dalam adat istiadat, tradisi lisan, seni tradisi, naskah-naskah tua, dan bentuk-bentuk kebudayaan lain yang mencerminkan peradaban masa lalu. Karena suku Sunda terbentuk bukan dalam waktu sebentar, tetapi terbentuk beratur-ratus tahun, sejak jaman prasejarah hingga menjadi bagian masyarakat modern. Tentunya dari perjalanan peradaban suku Sunda tersebut akan meninggalkan jejak yang berharga berupa ayat-ayat kearifan budaya untuk dipelajari, untuk ditafsir ulang nilai-nilainya.
Nilai-nilai kearifan lokal kiranya dapat dimanfaatkan sebagai sumbang nilai terhadap kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Ayat-ayat kearifan hidup menjadi nilai untuk direvitalisasi. Sebab menurut pendapat Ayatrohaendi (1986: 40) bahwa kearifan lokal (local genius) atau wujud cerlang budaya mampu bertahan, mampu menghalau budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi budaya-budaya baru yang menyerbu, mampu berintegrasi dengan kebudayaan baru atau budaya luar, mampu mengendalikan budaya yang ada, serta menyumbangkan nilai untuk arah kebudayaan yang akan datang.
Kearifan lokal yang terdapat dalam peninggalan peradaban masa lalu seharusnya menjadi nilai revitalisasi untuk pembentukan karakter generasi berikutnya. Sebab menurut pendapat Alwasilah (2006: 18), revitalisasi dari sebuah kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh pemiliknya, melainkan juga membangkitikan segala wujud kreativitas dalam kehidupan seharii-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi, maka ayat-ayat kebudayaan tersebut harus dikaji ulang atau ditafsir baru.
Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi wacana akan dimasukan ke dalam kelas, menjadi pembelajaran kurikuler di sekolah dan di kampus, orang Sunda sudah memiliki landasan hidup yang berorientasi kepada pembentukan karakter. Orang Sunda memiliki filosofi hidup silih asah, silih asih, silih asuh. filosofi ini, kalau ditafsirkan kepada teori Benjamin S. Bloom dalam bukunyaTaxonomy of Education of Objectives, Cognitive Domain (1959), dapat disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebab silih asah itu orientasi nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir, mengasah kemampuan untuk mempertajam pikiran dengan tempaan ilmu dan pengalaman. Seperti tercermin dalam ungkapan “peso mintul mun terus diasah tangtu bakal seukeut” artinya pisau tumpul kalau terus diasah akan tajam juga; atau “cikarakac ninggang batu laun-laun jadi legok” artinya air tempias menimpa batu lama-lama batunya akan berlubang. Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya orang kalau terus ditempa, suatu saat akan ada bekasnya dari hasil pembelajaran itu.
Makna silih asih, orientasi nilainya kepada makna tingkah laku atau sikap individu yang memiliki empati, rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial yang tinggi. Tercermin dalam ungkapan “ka cai kudu saleuwi ka darat kudu selebak” arti utamanya adalah kebersamaan. “Ulah pagiri-giri calik, ulah pagirang-girang tampian” artinya jangan ada permusuhan di antara manusia. Sebab manusia itu harus “sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan artinya harus memiliki jiwa kebersamaan, gotong royong atau saling menolong.
Makna silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan yang nyata, sikap pragmatik seseorang di masyarakat, eksistensi diri, menerapkan potensi diri di masyarakat. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat, kepada sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu mengayomi dan memberi contoh yang baik. Seperti tercermin dalam ungkapan “kudu landung kandungan kedah laer aisan” artinya hidup harus mengayomi orang lain selain mengoyomi diri sendiri. “Hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja” artinya selamanya dikenang dalam kebaikan dan kalau meninggal tidak meninggalkan sifat buruk.
Dalam pendidikan karakter menurut pendapat Khan (2010: 14) bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang tidak saja membimbing, dan membina setiap anak didik untuk memiliki kompetensi intelektual, kompetensi keterampilan mekanik, tetapi juga harus terfokus kepada pencapaian pembangunan dan perkembangan karakter. Jadi, manusia terdidik harus memiliki kompetensi intelektual atau silih asah, harus memiliki kompetensi keterampilan mekanik atau silih asuh, dan mampu mencapai pembangunan dan perkembangan karakter atau silih asih.
Karakter Pragmatis Orang Sunda
Kalau saja nilai-nilai lama direvitalisasi ke dalam kehidupan orang Sunda, tentunya wujud cemerlang kehidupan orang Sunda tidak perlu diragukan lagi. Tapi menurut Alwasilah (2006: 18) ayat-ayat kebudayaan lama yang tercermin dari kehidupan masa lalu sering dihujat sebagai pelestari feodalisme dan kemunafikan, dan inilah yang menghambat kompetisi global yang meniscayakan demokrasi dan transparansi. Mestinya lanjut Alwasilah (2006: 19) terbentuk dalam diri orang Sunda tentang perspektif budaya, yakni sudut pandang terhadap budayanya sendiri. Inilah revitalisasi kultur dalam tataran kognitif dan afektif sebagai pencerahan hidup.
Kesadaran akan nilai-nilai lama untuk menjadi pegangan hidup yang akan datang sebenarnya bagian dari pembentukan karakter manusia. Sebab menurut pendapat Aziz (2011: 128) yang membentuk manusia menjadi paripurna atauinsan kamil adalah agama dan lingkungan hidup yang mempengaruhi hidupnya. Agama tentunya hubungan manusia dengan penciptanya atau hubungan vertikal. Lingkungan adalah hubungan horizontal, hubungan manusia dengan manusia atau ada interaksi sosial. Manusia Sunda tentu saja mengenal hal itu, dalam satu sisi harus memiliki keterikatan kepada Yang Di Atas, dan satu sisi harus menjadi pelaku di buana panca tengah (dunia) untuk mengemban azas tri tangtu di buana (resi, rama, dan ratu), dan hubungannya harus harmonis. Kehamonisan tersebut tercermin dari pragmatisme hidup orang Sunda, yaitu karakter religius, karakter personal, etos kerja, ketertiban hukum, kepemimpinan, dan bidang pendidikan atau pengasuhan.
a. Sistem Religi
Manusia Sunda tercipta dari budaya ladang atau masyarakat huma dengan sistem religi bermula dari tidak mengenal Tuhan, berlanjut mengenal Tuhan dengan ditandai masuknya Hindu-Budha, dan terakhir datangnya agama Islam. Tetapi jauh sebelum Islam masuk, pada saat Sunda ada dalam dinasti Pajajaran, orang Sunda sudah memiliki agama Sunda Wiwitan, sebuah agama hasil akulturasi dari nilai-nilai masa lalu dengan agama Hindu-Budha sebagai agama baru. Orang Sunda sangat percaya akan adanya Sanghyang Taya (Tuhan yang tidak terlihat) atau disebut juga Sanghyang Tunggal (Tuhan Maha Esa). Munculnya analogi bahwa Tuhan itu tidak terlihat, tidak ada dalam wujud kehidupan tetapi ada di atas sana dan hanya satu atau esa, mungkin pengaruh dari kepercayaan orang tua dahulu terhadap dunia kahiangan (kayangan) yang gaib. Sistem religius tersebut tercermin dari dua pantun Sunda yang fenomenal, yaitu pantun Mundinglaya Dikusumah dengan Lutung Kasarung. Kedua pantun tersebut isinya bercerita tentang dunia atas yang gaib, dunia atas sebagai penolong, dunia atas sebagai tempatnya roh-roh suci. Tapi dunia atas dalam pantun ini tidak digambarkan berupa nama-nama dewa seperti halnya dalam kepercayaan Hindu-Budha, dunia atas dalam kepercayaan Sunda sudah beradaptasi dengan kepercayaan orang Sunda terdahulu. Dunia atas dalam versi pantun ini adalah berisi tokoh gaib versi kepercayaan orang Sunda, serpetiSunan Ambu, Sanghyang Tunggal, atau Sanghyang Taya.
Cerita Mundinglaya Dikusumah menceritakan seorang tokoh Mundinglaya Dikusumah yang meminta pertolongan pada penghuni dunia atas. Mundinglaya sosok teraniaya yang mendapat hukuman dari Raja Pajajaran yang sebenarnya ayahnya sendiri. Mundinglaya dihukum karena difitnah telah berlaku tercela, yaitu dituduh menggoda istri orang. Mundinglaya Dikusumah dihukum, salah satu syarat menebus hukuman tersebut Mundinglaya Dikusumah harus mengambil pusaka Lalayang Salaka Domas di jabaninglangit atau buana nyuncung. Lalayang Salaka Domas tersebut dibutuhkan untuk menyembuhkan rakyat dan Negara Pajajaran yang terkena musibah. Artinya Mundinglaya harus terbang ke jabaninglangit (dunia atas) untuk mengambil pusaka, dan harus mengalahkan Jongrang Kalapetong dan Guriang Tujuh sebagai faktor penghalang. Tafsir ayat kearifan pantun ini, manusia buana panca tengah(bumi) memerlukan buana nyungcung (dunia atas) sebagai sarana tempat meminta, mengadu, atau berharap, sebab di sajabaninglangit itulah Sanghyang Tunggal berada.
Cerita Lutung Kasarung terbalik dengan cerita Mundinglaya Dikusumah. Dalam cerita Lutung Kasarung dunia atas memberi pertolongan ke dunia bawah. Dunia atas menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberi pertolongan pada dunia bawah. Tokoh Guru Minda diutus ke bumi untuk memberi pertolongan terhadap Purba Sari yang dianiaya oleh kakaknya bernama Purba Larang. Guru Minda menjelma menjadi lutung harus memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan yang dilakukan oleh Purba Larang dan Indra Jaya kekasihnya. Purba Larang dan Indra Jaya menganiaya Purba Sari karena menyingkirkan Purba Sari agar tidak naik tahta jadi ratu di kerajaan Pasir Batang Anu Girang. Dalam cerita ini Guru Minda sebagai simbol dunia atas harus mampu membuktikan bahwa kejahatan bisa kalah oleh kebaikan, dan kemenangan itu atas perbuatan baik. Artinya dunia atas itu penolong kepada orang yang berusaha di jalan kebaikan, dan akan selalu berpihak kepada hal-hal yang dilakukan orang dalam kebaikan.
b. Karakter Personal
Karakter manusia Sunda yang diharapkan sebagai manusia yang memiliki kepribadian, memiliki sikap, memiliki karisma, dan memiliki jiwa kepedulian sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade tagog, yaitu memiliki penampilan yang meyakinkan, optimistik, dan karismatik; (2) nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang, yaitu harus menjaga ucapan, tindakan atau perbuatan agar tidak menyakiti orang; (3) batok bulu eusi madu, yaitu harus memiliki otak atau kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung bekas nyalahan, yaitu jangan salah berbuat karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya tidak akan baik; (5) ulah elmu ajug, yaitu jangan menasehati orang tetapi diri sendirinya butuh nasihat orang lain atau jangan mengajak orang lain berbuat baik sendirinya saja tidak baik; (6)sacangreud pageuh sagolek pangkek, yaitu hidup harus memiliki prinsip; (7)ulah gindi pikir belang bayah, yaitu jangan berbuat jahat, memiliki pikiran jelek pada orang, atau dengki kepada orang; (8) kudu leuleus jeujeur liat tali, yaitu hidup itu harus kuat, menanggung beban sebarat apapun jangan menyerah.
c. Etos Kerja
Manusia Sunda pun dituntut memiliki katakter menjadi manusia pekerja, manusia mandiri, manusia yang memiliki etos kerja. Filosofis manusia Sunda sebagai manusia pekerja di antaranya: (1) mun teu ngoprek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih, yaitu kalau mau makan atau mau mempertahankan hidup maka bekerjalah; (2) tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, yaitu kerjakan apa yang mesti dikerjakan, jangan terganggu oleh hal-hal lain yang mengganggu perkerjaan utama dan harus rendah hati jika telah mendapatkan kesuksesan; (3) ulah kumeok memeh dipacok, yaitu jangan pernah menyerah sebelum melakukan pekerjaan, harus tetap optimis; (4) ulah kurung batokkeun, yaitu manusia harus banyak bergaul agar banyak teman dan menambah pengalaman; (5) kudu bisa ka bala ka bale, yaitu manusia itu harus berusaha untuk memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan, mau bekerja apa saja asal halal, jangan memilih-milih pekerjaan yang akhirnya malah menganggur; (6) ulah muragkeun duwegan ti luhur, yaitu jangan mengerjakan sesuatu yang hasilnya malah gagal atau sia-sia; (7) ulah cacag nangkaeun, yaitu jangan mengerjakan sesuatu setangah-setengah sebab hasilnya tidak akan memuaskan, malah menjadi berantakan; (8) ulah puraga tanpa kateda, yaitu jangan mengerjakan sesuatu asal jadi saja, pada akhirnya bos atau orang yang mengerjakan kitu merasa kecewa akan hasil kerja kita; (9) ulah ngarawu ku siku, jangan menerima pekerjaan jangan serakah, semua tawaran diambil, sebab pada akhirnya akan sia-sia bahkan tidak akan berbuah; (10) hejo tihang, yaitu jangan pindah-pindah tempat kerja; (11) muru julang ngaleupaskeun peusing, jangan tergiur dengan iming-iming yang belum tentu menghasilkan, lebih baik tekuni yang sedang digarap tetapi hasilnya sudah menjanjikan.
d. Ketertiban dalam Hukum dan Keadilan
Masalah keadilan harus tertanam juga dalam manusia Sunda. Leluhur Sunda sudah memberikan filosofis tentang keadilan, tujuannya agar manusia Sunda memiliki jiwa adil dan beradab, seperti yang tercermin dalam: (1) ulah cueut ka nu hideung ulah ponteng koneng, yaitu katakan salah bila salah, katakan benar kalau memang benar, jangan berpihak kepada yang salah; (2) kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea, yaitu aturan harus bersumber kepada hukum, harus berbakti benar ke Negara, dan kebenaran itu harus menurut orang banyak (rakyat); (3) kudu puguh bule hideungna, yaitu perkara itu harus jelas aturannya bila ingin mengambil tindakan; (4) bobot pangayon timbang taraju, yaitu menimbang kesalah harus dengan aturan yang jelas seusuai dengan kesalahan yang diperbuatnya; (5) nu lain kudu dilainkeun,nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun; yaitu harus berkata jujur jangan melarang-larang sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran.
e. Kepemimpinan
Karakter pemimpin yang diinginkan oleh leluhur Sunda adalah jujur, adil dan menjadi pengayom yang dipimpinnya. Pempinan pada masyarakat Sunda yaitu dimulai dari RT, RW, kokolot, lebe, kuwu, camat, wadana, bupati, dan seterusnya. Mereka itu dalam kepemimpinannya sudah dibekali filosofis sebagai pembentukan karakter. Konsep kepempinan menurut ayat kearifan Sunda; (1) lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang, yaitu bahwa pemimpin itu tidak sekonyong-konyong ada di tengah masyarakat, tetapi keberadaanya itu melalui proses dan atas kepercayaan rakyat; (2) landung kandungan laer aisan, yaitu pemimpin harus memiliki jiwa kasih sayang, sebab pemimpin itu harus jadi ibu sekaligus bapak bagi rakyatnya; (3) kudu handap asor; yaitu pemimpin jangan sombong, jangan semena-mena; (4) bentik curuk balas nunjuk capetang balas miwarang, yaitu jadi pemimpin jangan otoriter, jangan main perintah, sebaiknya sama-sama bekerja dengan bawahan; (5) ulah getas harupateun, yaitu jangan emosional jangan cepat mengambil tindakan; (6) kudu dibeuweung diutahkeun, yaitu sebagai pemimpin harus mempertimbangkan masalah atau “kudu asak-asak ngejo bisi tutung tambagana, kudu asak-asak nempo bisi kaduhung jagana” (harus penuh pertimbangan dalam memutuskan perkara atau mengambil keputusan); (7) ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara, yaitu pemimpin harus mampu mengelola daerahnya dengan mempotensikan rakyat, dan mampu menjadi abdi Negara yang baik; (8) ulah lali ka purwadaksi, yaitu jadi pemimpin jangan lupa kepada asal-usul, jangan (9) unggah pileumpangan, yaitu berubah sikap jadi sombong setelah jadi priayi.
f. Arah Pendidikan Manusia Sunda
Manusia Sunda dibesarkan hidupnya di alam pegunungan, sebab nenek moyangnya adalah manusia ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, mereka dibesarkan di lahan pesawahan. Ciri manusia ladang mengandalkan pepohonan yang hidup di ladang sebagai alat untuk bertahan hidupnya. Tidaklah heran manusia Sunda memanfaatkan pepohonan sebagai makanannya, maka pendidikan pun mengarah kepada bagaimana memanfaatkan potensi yang ada di pegunungan. Tercermin dari pembuatan rumah, alat rumah tangga, bahkan alat berburu pun menggunakan potensi yang ada di ladang.
Karakteristik orang Sunda ibarat “ayam”, karena ayam merupakan simbol hewan manusia ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, bebek sebagai simbol hewan peliharaannya karena orang Jawa adalah manusia sawah. Tercermin dari ungkapannya; (1) ulah ngepek jawer, maksudnya jangan menjadi manusia penakut; (2) ulah ipis burih, sama artinya yaitu jangan menjadi manusia penakut dann peragu; (3) bengkung ngariung bongkok ngaronyok, maksudnya selalu berkumpul ibarat untuk menjalin kebersamaan. Dari ungkapan babasan danparibasa di atas terdapat istilah jawer, burih, dan ngaronyok, itu adalah simbol ayam.
Dalam mendidik anak untuk tidak menjadi sombong, manusia Sunda menggunakan simbol alam sebagai perumpamaanya; (1) alak-alak cunampaka; (2) piit ngeundeuk-ngeundeuk pasir; (3) pacikrak ngawan merak; (4) cecendet mande kiara; (5) jogjog neureuy buah loa; maksud dari ungkapan di atas artinya sama, manusia jangan sombong, jangan menyepelekan hidup.
Adapun ungkapan yang menyuruh manusia Sunda untuk belajar; (1) elmu tungtut dunya siar, maksudnya tuntutlah ilmu sambil mencari penghidupan; (2)ngundeur luang mah ka daluang jeung papada urang, artinya mencari ilmu itu dari buku (daluang) dan dari sesama manusia (guru, orang tua, atau masyarakat); (3) manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna, pergunakan akal sebagai alat kehidupan; (4) mending bodo alewoh, artinya lebih baik bodoh tetapi mau bertanya dari pada pintar tapi tidak mau bertanya kepada orang; (5) mending waleh manan leweh, lebih baik bertanya pada orang dari pada tidak bisa apa-apa; (6) nete taraje nincak hambalan, belajar itu sebuah proses alami; (7) moal nukang ka burang, moal nonggong ka rombongan, nyanghareup mah ka kolot ka lalakon, artinya segala sesuatu segala sesuatu belajar dulu dari pengalaman. ***
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. C. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Kiblat.
Azis, H.A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, Akhlak Mulia Pondasi Membangun Karakter Bangsa. Jakarta: Al-Mawardi.
Danandjaja, J. 1998. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:Grafiti.
Dienaputra, R. D. 2006. Sejarah Lisan: Konsep dan Metode. Bandung: Balatin Pratama.
Ekadjati, E. S. 1988. Naskah Sunda. Bandung: Universitas Padjadjaran
Produk kebudayaan urang Sunda itu tidak sepenuhnya hasil murni kreativitas masyarakat Sunda, tapi ada akulturasi ataupun hibridasi dengan kebudayaan yang dibawa orang-orang di luar Sunda. Begitu juga antara Islam dan Sunda. Keduanya akan saling memengaruhi sehingga melahirkan ritual keagamaan dalam bingkai budaya yang me-lokal.
Agama (Islam) di tatar Sunda akan bermetamorfosa ke dalam pelbagai bentuk, sebagai “akibat samping” dari respon, kreasi atau reaksi para penyebar agama Islam dan kekukuhan masyarakat Sunda memegang kebudayaannya ketika berdialektika dalam sebuah ruang-waktu yang temporer.
Alhasil, dengan pertemuan antara Islam atau agama lain dengan realitas kultural masyarakat etnik Sunda, lahirlah apa yang diistilahkan dengan kearifan lokal (local wisdom) dalam beragama. Lantas, pertanyaan yang mesti kita kemukakan pada tulisan ini, adalah: bagaimana posisi ajaran Islam ketika tersebar di wilayah tatar Sunda? Apakah Islam mendapat perlawanan sengit, penolakan halus, ataukah urang Sunda berkorvegensi dengan nilai-nilai Islam dalam merancang bangunan kebudayaannya?
Terakhir, apakah nilai-nilai Islam “meng-ada” di tatar Sunda hanyalah untuk menyingkirkan nilai-nilai lokal yang sebetulnya memiliki derajat kebenaran ontologis yang sama dengan nilai-nilai agama yang berkarakter universal, termasuk Islam?
Akulturasi Islam dan Sunda Secara historik, menurut Ayatrohaedi (1986), masuknya Islam ke tanah Sunda diperkirakan pada masa Prabu Siliwangi. Sebelum Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527), boleh dikatakan masyarakat Sunda secara kultural bercirikan keislaman.
Menurut Saini KM (1995), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena secara kultural di antara keduanya (Islam dan Sunda) mempunyai persamaan paradigma yang bercirikan platonik. Maka, tak mengherankan jika Sunda sebagai kebudaayaan, bisa “bermanunggal ria” dengan Islam sebagai satu agama, yang diyakini oleh para penganutnya memiliki kebenaran-kebenaran universal. Bahasa antropologi budayanya adalah akulturasi.
Akulturasi Islam dengan Sunda bisa dilihat dari seni yang berkembang sampai sekarang dan masih dipraktikkan masyarakat Sunda pedesaan yang berasal dari muslim Sunda tradisional. Misalnya seni arsitektur mesjid yang menyerupai tiga konsep tangga kehidupan umat Sunda berbentuk “nyuncung” sehingga masjid dikenal dengan bale nyuncung.
Selain itu, ada naskah kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon sebagai proses kreatif masyarakat Muslim Sunda, yang dahulunya mungkin dikategorikan modern, tapi sekarang – karena ada proses Indonesianisasi, Latinisasi dan Englanisasi – huruf pegon sebagai hasil dari dialektika budaya Sunda dan Arab Islam, menjadi terkubur dan menghilang; kecuali di pesantren-pesantren salaf tradisional masih ada santri yang ngalogat dengan menggunakan aksara pegon.
Banyak ulama zaman bareto yang menyusun kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegonataupun aksara Latin, seperti yang terdapat di dalam tradisi pesantren tradisional. Ulama atau ajeunganitu diantaranya: KH. Ahmad Sanusi, KH Ahmad Maki bin KH Abdullah Mahfud, Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar, ‘Abdullah bin Nuh, dan masih banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini.
“Pupujian”, cermin kearifan
Dalam seni suara pun, kita pasti pernah mendengar lantunan “pupujian” bertajuk “Anak Adam” di mesjid-mesjid atau di tajug pada masyarakat agraris, sebagai berikut: “Anak Adam urang di dunya ngumbara/umur urang di dunya moal lila//anak adam umur urang teh ngurangan/saban poe saban peuting di kurangan.”
Kalimat “pupujian” atau “nadhoman” ini memiliki semangat profetik, yakni betapa tidak hidup itu akan berakhir dan menyadarkan para pemuji dan pendengarnya untuk menunaikan shalat ketika adzan telah dikumandangkan. Ini juga mengindikasikan urang Sunda memiliki semangat egalitarianisme dalam berinteraksi dengan masyarakat lewat cara mengajak Sunda Islam anu Eusleum secara lemah-lembut.
Mengapa “pupujian” dilakukan setelah selesai “ngong” adzan? Sebab, inti hidup yang mesti direfleksikan Muslim Sunda adalah membuat hidupnya lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian.
Dengan mengingat kematian, maka diharapkan Ki Sunda dapat menghidupkan kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal. Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas “pupujian” jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi.
Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras. Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Garut,pun uwak – Ajeungan Abbas Ase – memberikan “pupujian” yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad saya untuk terus beramal saleh.
Kalau tidak salah, bunyi pupujian itu sbb: “sanes bae yatim teh/nu maot ramana/sanyatana yatim/nu teu berelmu/ teu beramal//sanes kagindingan nu makean badan/saliim..saliim//.
Syair dalam versi terjemahan berbahasa Sunda ini, tanpa disertai syair berbahasa Arabnya menyadarkan saya bahwa kemajuan peradaban ditentukan oleh ilmu dan amal. Tentunya, apabila merujuk pada “pupujian” tersebut, selain ilmu dan amal, yang wajib dimiliki oleh muslim Sunda, adalah: kedamaian menebarkan ajaran agama Islam.
Itulah yang saya namakan dengan Ki Sunda Islam anu sawawa! Oleh karena itu, untuk konteks kekinian di kedalaman jati diri urang Sunda mestinya ditanamkan kearifan dalam ngageum Agama Islam, guna menciptakan relasi social-keagamaan yang tidak meminggirkan pemahaman keagamaan teurah Ki Sunda yang lainnya. Ingat, bahwa Ki Sunda pun dahulu pernah jatuh hati pada agama Hindu dan Budha.
Maka, Ki Sunda hari ini dan masa depan harus mewujud dalam wujud manusia yang mampu menafsirkan warisan kebudayaannya dan keberagamaannya secara arif dan bijaksana untuk kepentingan Sundakiwari dan seluruh umat manusia. Itulah sumbangan Sunda buat bangsa, agama, dan Negara. Bahkan, buat dunia, lho! Wallahua’lam
KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA MELALUI UGA TANAH (C)AWISAN [1]
Oleh : Nandang Rusnandar
Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomasdan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.
Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telahdicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,
Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu
Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan, Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.
Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.
Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum,talaga ‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari kata kakeueum dantalaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.
Uga lain yang masih senada,
5 Urang Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)
6 Di daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung
Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah (c)awisan atau daerahperuntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.
Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.(Kutipan Soleh Hamdani)