Berbagai jenis kesenian tradisional asli Sunda khususnya seni Sunda buhun nyaris punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun
terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat
tempat dan dihargai publik, serta terdesak seni pop modern yang dianggap
lebih menarik.
Guru Besar Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Yus Rusyana mengatakan, kondisi tradisional Sunda buhun
saat ini secara berangsur mulai menghilang. “Dewasa ini generasi muda
lebih menyenangi seni yang datangnya dari luar dibandingkan kesenian
asli milik bangsa sendiri,” ujarnya, dalam acara Rembuk Tokoh Sunda,
Menggali Akar Budaya Sunda Buhun, Senin (14/3) di Aula Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Jawa Barat, Jalan R.E. Martadinata 209 Bandung.
Acara
itu dihadiri sejumlah tokoh seni dan budayawan Sunda, seperti Prof.
Saini KM, Prof. Dr. Karna Yudibrata, Dra. Hj. Popong Otje Djunjunan,
Nano S., Euis Suhaenah M. Hum, dan Pengurus PB Pusat Pasundan Daum.
Kang
Yus –demikian Yus Rusyana akrab disapa– menegaskan bahwa saat ini seni
budaya Sunda terus mengalami pergeseran. Bahkan seni Sunda buhun
yang merupakan seni leluhur sudah sulit ditemui. Padahal, seni budaya
Sunda buhun dikenal sangat kaya nilai. Mulai dari hubungan antara
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan mausia lain, hingga hubungan
manusia dengan alamnya.
Untuk
itu, Yus sangat mendukung berbagai upaya pelestarian seni budaya Sunda.
“Jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah pelestarian, kekayaan
tradisi tersebut akan tinggal menjadi sejarah,” ujarnya.
Sementara Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan mengatakan, untuk membangkitkan gairah para pelaku seni budaya Sunda buhun
perlu diberikan semacam rangsangan. “Selama ini penghargaan terhadap
pelaku seni sangat jarang, padahal para seniman tidak meminta imbalan
berupa materi terhadap upayanya melestarikan seni turun temurun. Mereka
hanya ingin ada semacam pengakuan dari pemerintah,” ujarnya.
Seni budaya Sunda buhun
semakin ditinggalkan masyarakat karena dinilai monoton sehingga tidak
memiliki daya jual yang menarik. Kondisi itu diperparah oleh tidak
adanya dukungan publik dan modal dari pemerintah sehingga jarang bisa
ditampilkan lagi di tengah masyarakat.
Untuk melestarikan seni budaya sunda buhun
yang terus menghilang, Ny. Popong mengusulkan agar diselenggarakan
kegiatan semacam ekshibisi atau tontonan secara resmi. Seni yang digelar
tidak hanya berupa seni ibing (gerak–red.) tetapi juga seni tabeuh (pukul), maupun seni sora (suara).
Selain itu untuk menentukan bahwa seni tersebut merupakan seni Sunda buhun
perlu ditetapkan kriteria. “Untuk menentukannya saat ini sangat sulit
karena seni Sunda sudah banyak mengadopsi seni dari luar,” ujarnya.
Hal senada dikatakan seniman, budayawan dan guru seni di STSI Bandung, Nano S.. Ia mengatakan, seniman Sunda buhun
dewasa ini sangat tidak dihargai lagi, tidak saja oleh masyarakatnya
sendiri tetapi juga oleh pemerintah. “Kalau memang masih mendapat
tempat, bila sedang pentas pasti akan ditonton. Pemerintah daerah pun
sering menganggap para seniman itu menjadi beban,” ujarnya.
Dikatakan Nano, dalam beberapa tahun kebelakang seni budaya Sunda buhun
dapat dipastikan akan menjadi barang kuno bila tidak segera
dilestarikan dan dikembangkan kembali. “Untuk itu kiranya dalam memahami
seni budaya Sunda buhun tidak dikaitkan dengan akidah atau agama yang selama ini sering menjadi pagar antara boleh dan tidak,” ujar Nano.